Minggu, 07 Desember 2014 0 komentar

Lesung Ratu Oki

Dari setiap tempat / kampung akan kita temui situs budaya atau peninggalan dari para leluhur dan apabila kita menuju ke desa Kali Kec. Tombatu kab. Minahasa tenggara maka kita akan menjumpai salah satu peninggalan leluhur yang paling dikenal oleh anak suku Tonsawang yaitu Lesung Nawo/Ratu Oki.


Lesung ini dipercayai adalah milik dari ratu oki yang adalah pemimpin anak suku tonsawang di tahun 1600san, dan ini digunakan oleh anak suku tonsawang saat ini sebagai portal untuk berhubungan dengan leluhur.


Konon cerita tentang lesung ini adalah air yang berada didalam lesung tidak pernah kering walaupun kemarau panjang. Saat saya melakukan penelitian tentang keberadaan lesung ini yang berhubungan dengan "air yang ada di dalam lesung yang tidak pernah kering". Menurut penuturan salah seorang pecinta budaya suku Tonsawang yaitu Tonaas Muda A.M menuturkan bahwa Air yang berada di dalam lesung ini sebenarnya tidak pernah habis/kering walau kemarau panjang, tetapi karena pada jaman sekarang telah banyak yang melakukan kesalahan saat mengunjungi lesung ini sehingga Air yang didalamnya akan kering.


Menurut penuturan Tonaas Muda tersebut saya menyimpulkan bahwa : Air yang berada didalam Lesung ini Akan kering kalau di Buat salah "Pineseaan /dibikin salah", kalau Lesung ini diperhatikan atau dirawat dengan baik pasti air didalamnya tidak akan pernah kering.

Lesung Ratu Oki

0 komentar

Memahami Budaya Minahasa

Bacerita tentang budaya so pasti banyak akan berpikiran tentang Penyembahan Berhala, Percaya Roh Orang mati, Tahyul, dsb. Namun hal ini adalah pandangan dari sebagian orang yang merasa benar, suci, sok alim dsb....

Dari pengalaman yang ditemukan baik itu wawancara, pengamatan maupun analisa, terdapat orang-orang jaman sekarang yang memiliki kepribadian maupun sifat yang abu-abu. Contoh : Saat orang menilai tentang budaya/Kebiasaan Orang Tua<Leluhur>, maka yang terpikir adalah pengajaran/doktrin dari suatu agama yang ada saat ini khususnya di Minahasa adalah mayoritas Kristen <Protestan/Katolik> yang bertentangan, supaya lebe dapa lia tu model bagitu, lia jo di grup budaya minahasa dimana sebagian orang posting tentang budaya ada yang koment tentang Firman Tuhan dan menghakimi bahwa so dorang tu butul samua (Nda tau ba baca nama grup atau kesasar tu orang-orang itu..???).

Terkadang saat melihat prilaku orang yang demikian membuat saya tertawa, pastiu, dll, walaupun sebenarnya hal tersebut tidak salah asalkan kita berjalan pada keyakinan kita dengan tidak ada kemunafikan.

Untuk memperjelas saya akan meberikan contoh prilaku yang so-soan, dimana disisi lain tidak percaya namun pada sisi yang lainnya percaya (Aneh tapi nyata):
  • Kalu bajalang ada orang yang bersin menandakan ada sesuatu yang mo jadi (ada yang ja percaya ada juga nda)
  • Ada yang nda percaya tentang titisan <mempunyai karunia secara turun temurun> namun anehnya kalu ada yang cilaka kong <patah kaki,tangan>, dorang yang nda percaya tu budaya malah picari tukang uru yang pada dasarnya karunia dari tukang ba uru itu diturunkan dari orang tua/opa/oma sehingga setiap tukang uru pantang skali trima doi karna itu pantangan dari tua-tua (Mar ada nda percaya budaya cuma tetap ja pake orang yang mempunyai karunia <titisan> Anehhhh memang !!!)
  • Ada lei tu orang kalu bacerita "so jaman bagini lei masih percaya-percaya bagitu" mar kenyataannya dia pe kalakuan lebe parah (Pamabo, pang baroko, karlota, suka menghakimi,dll)
  • Ada juga yang bicara "ah kita nda ja pake kwa tu bagitu" tapi anehnya dalam pengalaman pribadinya banyak bertemu dengan dunia Budaya serta mempraktekkan itu cerita-cerita dari orang tua <Aneeehhhh???>
Masih banyak contoh yang bisa torang mo lia tu jenis orang abu-abu, munafik, dll, cuma torang nilailah pribadi kita masing-masing serta belajar menghargai apa yang dipercayai orang lain.

Ada yang selama ini mungkin bertanya-tanya "Pemahaman yang benar tentang mengikuti Budaya/Kebiasaan Leluhur sebenarnya bagimana ???". Sebenarnya hal itu tidaklah susah karena intinya seseorang yang memahami budaya haruslah mengikuti Filosofi Orang Tua "Maleos-leosan, Masigi-sigian, Maupu-upusan, Matombo-tombolan, Masawa-sawangan, dll" dan hal-hal tersebut sama seperti yang diajarkan dalam pengajaran setiap Agama yaitu tentang KASIH dan apabila Filosofi tersebut belum ada pada pribadi kita maka hal itu yang harus dipertanyakan tentang pemahaman kita.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pemahaman yang dangkal dari seseoranglah yang membuatnya sesat serta tidak mau menerima suatu perbedaaan yang sebenarnya maksud dan tujuannya sama yaitu KASIH. 
Rabu, 12 November 2014 1 komentar

Sejarah Suku Tonsawang / Toundanouw

SEJARAH TOUNDANOUW - TONSAWANG

Asal usul dan latar belakang munculnya beberapa julukan untuk orang Tonsawang (Toundanouw). Nama Toundanouw menjadi anak suku yang tinggal di sebelah selatan Gunung Soputan dan sekitar danau Bulilin. Toundanouw terambil dari dua kata yakni Tou yang artinya orang, dan Dano yang artinya Air. Dengan demikian Toundanouw artinya orang air. Diberi nama orang air karena anak suku ini tinggal di sekitar danau bulilin. Bagi orang Toundanouw sendiri lebih mengenal mereka sebagai Nanah i Toundanouw ( anak suku  Toundanouw ).

Nama Tonsawang lebih dikenal sebagai gelar yang diberikan oleh orang-orang dari luar Toundanouw (Tonsawang). Pemberian gelar ini mempunyai latar belakang tersendiri. Setelah sekian lama kelompok dari Tumpaan yang datang dan menetap di sekitar Danau bulilin, suatu waktu datanglah dua kelompok rombongan dari sebelah utara. Dua kelompok itu kemudian diketahui sebagai kelompok yang berasal dari anak Suku Toulour. Kedua kelompok itu masing-masing berasal dari Wewelen dibawah pimpinan Tonaas Kaawoan sedangkan kelompok lainnya berasal dari Luaan dibawah pimpinan Tonaas Mamosey. Pertemuan ini sangat mengembirakan karena diantara mereka terdapat banyak kesamaan baik dalam segi bahasa,adat istiadat dan sebagainya,apa lagi mereka berasal dari tanah leluhur yang sama. Baik mereka yang lebih dahulu menetap disekitar danau bulilin maupun yang datang dari utara hidup rukun dan damai serta berkembang menjadi anak suku Toundanouw. Sampai saat ini dikenal anak suku Toundanouw ( Tonsawang ) terbagi atas dua sub anak suku yakni Tou Betelen yang mendiami bagian Timur dan Tou Luaan yang mendiami bagian Barat.

Seperti telah dikemukakan diatas bahwa disamping nama Toundanouw yang populer dikalangan anak suku Toundanouw sendiri,ternyata masih ada nama lain seperti TONSAWANG,TONSINGIN,dan MOISING. Ketiga nama ini merupakan julukan (gelar) yang diberikan oleh anak suku diluar Toundanouw kepada anak suku Toundanouw. Gelar atau julukan tersebut berkaitan dengan peristiwa kepahlawanan (Perang) yang terjadi di Minahasa Antara tahun 1644 -1683 sering timbul peperangan antara bolaang mongondow dan Mindanouw. Pada tahun 1644 Amurang diduduki tentara Spanyol dengan alasan ingin membangun persahabatan dengan penduduk pribumi. Ternyata pasukan Spanyol ingin menguasai perdagangan( Monopoli ) terutama terhadap komoditi beras sebagai hasil utama dari Kali Tombatu. Demikian pula dengan kejahatan lainnya seperti perkosaan terhadap wanita penduduk setempat. Kenyataan ini telah mengakibatkan meledaknya pemberontakan anak suku Toundanouw yang mengakibatkan tewasnya 40 tentara spanyol di Kali dan Batu. Dipihak tentara pribumi telah mengakibatkan gugurnya Panglima Monde bersama 9 orang tentaranya. Panglima Monde gugur dalam rangka membela, mempertahankan dan melindungi Ratu Oki dan wilayah kekuasaannya. Ratu Oki tidak lain adalah istri panglima monde yang telah gugur itu. Gugurnya panglima monde tidak membuat surut perlawanan tentara Toundanouw, Panglima monde digantikan oleh Panglima Lelengboto yang juga dikenal keberaniaannya. Dalam perlawanannya terhadap penjajah panglima lelengboto dibantu dengan beberapa pahlawan yang gagah berani seperti Gandey, Koba, Moharow, keberanian tentara pribumi telah mengakibatkan jatuhnya banyak korban dipihak Spanyol. Jenis senjata Meriam yang digunakan tentara spanyol tak mampu melumpuhkan lelengboto dan tentaranya. Dalam peperangan ini 40 orang tentara spanyol ( Tasikela ) menemui ajalnya. Sedangkan di Amurang tercatat 100 orang tertawan dan terbunuh. Tentara spanyol yang dikalahkan itu dibawah pimpinan Bartholomeo de Soisa.

Keberanian dan kemenangan pasukan Toundanouw inilah yang menyebabkan anak suku Tontemboan dan Pasan-Ponosakan menamakan anak suku Toundanouw sebagai TONSINGIN.Tonsingin artinya orang yang disegani. Sampai saat ini orang-orang tua Pasan-Ponosakan lebih mengenal masyarakat Tonsawang dengan Tonsingin. Selanjutnya orang bolaang mongondow menyebut anak suku Toundanouw sebagai MOISING. Moising artinya dihormati atau disegani, Sebelum bangsa asing menguasai dan menjajah bangsa Indonesia maka tidak ada nama lain dari anak suku yang mendiami sekitar Danau Bulilin selain Toundanouw. 

Sejak lama anak suku Toundanouw hidup sejahtera,aman dan tentram dibawa Pimpinan seorang Ratu yang bernama OKI. Atas kebijaksanaan dan kearifannya memimpin anak suku Toundanouw maka Oki disahkan sebagai Tonaas dan Balian. selama kepemimpinan Ratu Oki, Spanyol dan Belanda tidak pernah menguasai atau menjajah anak suku Toundanouw. Bangsa asing telah mencoba dengan jalan perang dan damai namun Ratu Oki tidak pernah berkompromi dengan bangsa asing. nanti sesudah Ratu OKI meninggal barulah anak suku Toundanouw dikuasai oleh bangsa asing. Salah satu tradisi yang sangat kuat dikalangan anak Suku Toundanouw adalah melakukan pekerjaan secara bersama sama. pekerjaan di sawah dan di ladang sehari harinya dikerjakan secara kelompok yang terdiri atas Pria dan Wanita. Kelompok ini biasanya bekerja disertai seruan seruan dengan nada memberi komando dan memerintah yang berisi ajakan-ajakan dan dorongan agar tetap giat bekerja. Ajakan dan dorongan itu sering terungkap dalam bentuk nyanyian. Kelompok pekerja ini disebut Maando atau yang dikenal dengan Mapalus. 

Tradisi yang kuat ingin membantu orang lain menarik perhatian Bangsa Belanda. Dalam bahasa Toundanouw bantu membantu disebut Sawang. Pada tahun 1661, 1709-1711 dan 1809-1811 terjadi perang Tondano. Demikian pula pada tahun 1756,terjadi sengketa antara Minahasa dan Bolaang Mongondow. Terhadap kedua peristiwa itu bangsa melihat bahwa anak suku Toundanouw secara sukarela membantu baik dalam hal tenaga maupun materi ( terutama beras ). Atas dasar itulah Bangsa Belanda memberi nama anak suku Toundanouw sebagai orang sawang atau Tonsawang. Gelar atau julukan Tonsawang secara resmi dipakai dalam aktivitas pemerintahan sejak tahun 1886 ketika pemerintah belanda melalui surat keputusannya menetapkan berdirinya Distrik Tonsawang. Walak Toundanouw kemudian menjadi Pakasaan Tonsawang. Jiwa dan semangat tolong menolong yang telah tertanam sejak lama ternyata bukan hanya dalam hal mengolah sawah dan ladang. Dalam perkembangan selanjutnya ternyata pekerjaan tolong menolong atau Maando ( Mapalus ) juga untuk membiayai perkawinan, membuat rumah, menyediakan perabot untuk rumah baru ( Marambak ). Tentu saja bangsa belanda telah mengamati dan menilai secara seksama untuk datang pada keputusan memberi gelar kepada anak suku Toundanouw sebagai Tonsawang.  
Sumber : http://sukutoundanouw.blogspot.com
 
;